Prosedur Penangkapan Terhadap Tersangka atau Pelaku Tindak Pidana dalam KUHAP memiliki SOP (standard operating procedure) tertentu agar tindakan hukum bisa berjalan sesuai aturan. Jika pelaku hukum dalam hal ini adalah penegak hukum tidak mengindahkan prosedur hukum acara yang telah ada, maka banyak kemungkinan akan muncul perspektif bermacam-macam dari masyarakat.
Dalam tahapan melakukan penangkapan terhadap sesorang yang diduga sebagai pelaku pidana, ada aturan-aturan atau unsur yang harus diperhatikan oleh penegak hukum. Sebab semua warga mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum. Contoh kecil unsur yang sangat penting adalah mengenai Hak Tersangka untuk memperoleh perlakuan manusiawi.
Terkait prosedur penangkapan terhadap tersangka tindak pidana, kita bisa belajar dari kasus yang menjerat wakil ketua KPK, "Bambang Widjojanto" atas dugaan saksi palsu pada sidang MK atas perkara pemilihan gubernur kotawaringin 2010 lalu. Kasus yang sempat ditutup karena pelapor pada saat itu mencabut pengaduannya, kini dibuka kembali ke publik dengan ditangkapnya Bambang Widjojanto oleh pihak Kepolisian.
Dari kasus di atas, ada pelajaran yang bisa kita pahami lebih dalam lagi terkait isu pelanggaran HAM terhadap wakil Ketua KPK tersebut, yakni soal penangkapan yang dinilai mengancam dan syarat akan kejanggalan. Oleh karena itu, di sini akan dijelaskan mengenai prosedur penangkapan terhadap tesangka tindak pidana. Berikut penjelasan selengkapnya.
Hukum Acara Pidana adalah Proses pemeriksaan dalam tindak pidana baik yang dilakukan Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan (sebagaimana dimaksud dalam KUHAP)
Tahap I : Pelaporan/Pengaduan:
a. Bebas menyampaikan informasi atas suatu kejadian
b. Setiap Pelapor/Pengadu diperlakukan sama oleh Penyidik
c. Bebas dari Diskriminatif, intimidasi dan ancaman lainnya dari Penyidik.
d. Mendapatkan Perlindungan Hukum terhadap Pelapor/Pengadu.
e. Mendapat surat tanda terima pelaporan dari Polisi.
Tahap: II Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan adalah serangkatan tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat aau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penyelidik adalah Pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
Penyidikan adalah serangaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Penyidik adalah Pejabat Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negeri Sipil (Kejaksaan) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan:
Hak-Hak Tersangka - Terdakwa
Hak-hak tersangka dalam proses penangkapan
1. Penangkapan harus dilakukan oleh petugas dari kepolisian
2. Membawa surat tugas
3. Jangka waktu penangkapan adalah 1 hari atau 24 jam
Hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan
1. Tersangka harus diperlakukan adil
2. Tidak boleh mengalami kekerasan atau tekanan
3. Informasi mengenai tingkatan pemeriksaan dan statusnya. Tersangka di tahap penyidikan dan penuntutan, terdakwa ketika kasus sudah sampai di pengadilan sampai sebelum putusan hukum memiliki kekuatan hukum tetap. Terpidana jika eksekusi telah dilakukan.
4. Tersangka/terdakwa berhak didampingi penasehat hukum sejak proses penyidikan. Bahkan ia berhak menolak memberi keterangan bila belum didampingi penasehat hukum.
Hak-hak tersangka dalam proses penggeledahan dan penyitaan
1. Harus ada Surat izin dari Ketua Pengadilan untuk penggeledahan dan penyitaan (kecuali dalam keadaan mendesak, polisi bisa melakukan penggeledahan dan penyitaan tanpa izin ketua PN)
2. Penggeledahan harus disaksikan oleh 2 orang saksi
3. Pemilik rumah yang digeledah/disita harus mendapat berita acara dari polisi mengenai penggeledahan dan penyitaan tersebut.
Hak-Hak tersangka selama proses penahanan
1. Harus ada surat perintah penahanan
2. Yang bisa memerintahkan penahanan adalah polisi, penuntut umum dan hakim yang mengadili
3. Penahanan bisa diperpanjang tapi harus ada surat perintah penahanan lanjutan, berisi identitas tersangka dan alasan penahanan
4. Tembusan surat penahanan itu harus diberikan kepada keluarga tersangka
5. Bisa meminta penangguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang.
Penjelasan.
Penahanan dilakukan pihak berwenang adalah terhadap seorang tersangka atau terdakwa, sehingga ada perbedaan ditahan dengan dipenjara. Dipenjara adalah bentuk hukuman bagi seseorang yang sudah dinyatakan bersalah atau terbukti berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan pada lembaga penahanan belum tentu seseorang itu bersalah. Sehingga penahanan adalah sebuah instrument hukum selama seseorang sedang menjalani proses hukum sampai dijatuhkan vonis oleh pengadilan. Karena itu pada lembaga penahanan diatur sedemikian rupa hak-hak tersangka/terdakwa yang ditahan dan demikian pula dengan hak-hak dan kewenangan dari pihak yang berwenang melakukan penahanan.
Pihak berwenang melakukan penahanan terhadap seseorang bukanlah tanpa alasan dan alasan itu disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan (KUHAP).
Alasan atau dasar seorang tersangka/terdakwa untuk dilakukan penahanan, apabila tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa;
(1) akan melarikan diri;
(2) merusak atau menghilangkan barang bukti;
(3) dan atau mengulangi perbuatannya.
Ketiga kekhawatiran dari pihak berwenang tersebut tentulah ada ketika penyidik sudah memiliki bukti yang cukup terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Artinya adanya kekhwatiran penyidik baru timbul sehingga memandang perlu melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga keras sebagai telah melakukan tindak pidana, setelah adanya bukti yang cukup. Sepanjang penyidik belum memiliki bukti yang cukup, maka semestinya tidak ada penahanan terhadap seorang tersangka. Bahkan bila dicermati rumusan pasal 21 ayat (2) KUHAP, penyidik tidak bisa melakukan penahanan terhadap seorang tersangka sebelum penyidik memiliki bukti yang cukup. Dan lebih tidak boleh lagi, seseorang ditahan sambil mencari bukti yang cukup.
Jadi, jika sudah didapat bukti yang cukup, maka baru ada rasa khawatir dari penyidik, penuntut umum atau pun hakim seperti tersangka/terdakwa akan melarikan diri dan sebagainya sehingga penyidik, penuntut umum atau pun hakim melakukan penahanan sesuai dengan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penahanan, seorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tidak selalu harus dilakukan penahanan. Artinya status tersangka tidak berjalan seiring dengan penahanan. Hal ini sesuai dengan rumusan KUHAP sendiri terhadap tersangka, yakni: ‘Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Dengan demikian terdapat dua istilah dalam KUHAP, yakni istilah “bukti permulaan” dalam kaitannya dengan status tersangka dan istilah “bukti yang cukup” dalam kaitannya dengan penahanan terhadap tersangka/terdakwa.
Dengan demikian, semestinya ketika seorang ditetapkan sebaga tersangka, bisa jadi belum ada pada yang bersangkutan bukti yang cukup, tetapi baru berupa bukti permulaan dan karena itu semestinya belum bisa dikenakan penahanan. Kecuali pada saat penetapan tersangka pada seseorang sekaligus didapati bukti permulaan dan bukti yang cukup, maka penahanan terhadap seorang tersangka tidaklah masalah.
Persoalannya kapan suatu dugaan terjadinya tidak pidana sudah memiliki bukti yang cukup ? Suatu tindak pidana dikatakan sudah memiliki cukup bukti sepertinya tergantung pada masing-masing pihak yang berwenang dalam setiap tingkat proses hukum sebagaimana diatur KUHAP. Apabila penyidik berpendapat kasus yang ditangani dipandang sudah cukup bukti, maka penyidik melimpahkan kepada penuntut umum. Dan apabila penuntut umum memandang berkas perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya ternyata dinilai tidak cukup bukti, maka Penuntut Umum akan menerbitkan Surat Penghentian Penuntutan Perkara (SP3). Namun sebaliknya, apabila penuntut umum memandang berkas perkara yang diterimanya dari penyidik sudah cukup bukti, maka Penuntut Umum akan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan untuk diperiksa dan diadili.
Kemudian, Hakim pada pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum menilai tidak cukup bukti, maka terdakwa akan bebaskan dari dakwaan penuntut umum, tetapi sebaliknya bila hakim yang menyidangkan perkara dimaksud menilai perkara dimaksud dipandang sudah cukup bukti, maka terdakwa akan dijatuhi hukuman.
Dari rangkaian uraian soal cukup bukti seperti yang dikemukakan di atas, maka perihal adannya bukti yang cukup sehingga sesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditahan ternyata bersifat relative. KUHAP tidak mengatur apa ukuran dari bukti yang cukup itu pada setiap tingkatan proses yang dilalui. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka adalah dengan melakukan praperadilan, namun upaya prapedilan itu tidak bisa dilakukan seorang terdakwa yang ditahan ketika perkaranya sudah dilimpahkan kepada pengadilan. Sehingga, meskipun soal bukti yang cukup itu masih relative sifatnya pada saat perkara seorang terdakwa diperiksa didepan pengadilan, tetapi terdakwa tidak bisa berbuat banyak atas penahanan yang dilakukan hakim terhadap dirinya, sementara perihal bukti yang cukup itu baru akan ditemukan setelah pemeriksaan perkara selesai dilaksanakan.
Sempit ruang gerak seorang tersangka atau terdakwa untuk mengetahui dan menguji bahwa penahanan terhadap dirinya oleh yang berwenang karena diduga keras sebagai pelaku tindak pidana sudah memiliki bukti yang cukup. Bahkan dalam upaya praperadilan pun, upaya tersangka melakukan perlawanan terhadap penahan dirinya, seringkali terbentur ketika dilakukan upaya pembuktian atas bukti yang cukup itu. Dalam hubungan, upaya tersangka melakukan pembuktian terhadap ada atau tidak adanya bukti yang cukup itu seringkali tersandung alasan pemohon praperadilan sudah memasuki materi perkara. Padahal mencermati rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, mau tidak mau pemeriksaan pra peradilan atas penahanan tentu akan bersentuhan dengan materi perkara, karena soal adanya bukti yang cukup itu tidak terpisahkan dari materi perkara. Jadi pemeriksaan pra peradilan terhadap penahanan sesungguhnya tidak hanya sebatas sah atau tidak sahnya penahanan secara formalitas.
Bukti Yang Cukup
KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan “bukti yang cukup” dalam kaitannya dengan penahanan. Jika kemudian bukti yang cukup itu tentu tidak dapat dilepaskan dari alat bukti menurut KUHAP sendiri. Dalam KUHAP yang dikatagorikan sebagai alat bukti adalah;
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Jika dilihat dari sisi alat bukti berdasarkan KUHAP, maka keterangan tersangka tidak termasuk alat bukti apabila dikaitkan dengan penahanan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sebab pada tahan penyidikan belum ada terdakwa tetapi baru berupa tersangka dan tanpa mengenyampingkan soal yang demikian, dalam artian cukup yang bagaimana dikaitkan dengan alat-alat bukti menurut KUHAP itu. Apakah cukup berupa keterangan saksi, atau berupa cukup dalam arti keterangan saksi dan surat, atau kombinasi antara jenis-jenis alat bukti itu, sehingga dengan rumusan “berdasarkan bukti yang cukup itu” apakah hanya sebatas kuatitas atau gabungan antara kuantitas dan kualitas. Apabila terpenuhi secara kualitas, apakah bukti-bukti memerlukan pengujian keabsahannya atau kebenarannya ? Artinya, penahanan berdasarkan alat bukti yang cukup itu selama ini cenderung hanya menurut penyidik, penuntut umum saja.
Secara kebahasaan kata “cukup” diartikan sebagai;
(1) dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan dsb; tidak kurang;
(2) lengkap;
(3) sudah memadai (tidak perlu ditambah lagi).
Apabila dipedomani pengertian kata “cukup” dari aspek kebahasaan itu, maka tentu “bukti yang cukup” mencakup ke-lima (5) alat bukti yang disebutkan KUHAP dengan kualitasnya masing-masing untuk dipandang sebagai alat bukti yang sah secara hukum. Di sisi KUHAP sendiri, soal bukti yang cukup itu bisa juga disandingkan dengan soal pengambilan keputusan hakim, dimana hakim dalam memutuskan perkara yang diperiksanya. Pasal 183 KUHAP menyebutkan; “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”.
Dalam praktek yang sering dikemukakan dalam kaitannya dengan penahanan seorang tersangka adalah berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagai acuan minimal. Persoalannya kemudian, apakah dua alat bukti atau lebih yang dijadikan dasar penyidik untuk melakukan penahanan adalah alat bukti yang sah ? Maka dalam kaitan ini jelas, penyidik atau penuntut umum harus sudah memiliki keyakinan yang kuat, bahwa dua alat bukti atau lebih yang dipunyainya sebagai dasar untuk melakukan penahanan terhadap tersangka. Dan tersangka sendir tentu untuk meyakinkan dirinya, bahwa penahanan yang dilakukan terhadap dirinya sudah didasarkan penyidik atau penuntut umum atas adanya alat bukti yang sah menurut hukum. Dengan demikian, maka dalam proses pemeriksaan praperadilan terhadap sah atau tidaknya penahanan terhadap tersangka, sekaligus melakukan pengujian terhadap keabsahan secara materil terhadap alat bukti yang dijadikan dasar penahanan dan bukan sekedar pengujian formalitas terhadap alat bukti terkait. Dalam konteks ini harus pula dibedakan antara lat bukti dengan barang bukti.
Dari beberapa uraian di atas, maka karena rumusan “berdasarkan bukti yang cukup” sebagai dasar untuk melakukan penahanan mengacu pada kuantitas alat bukti, maka alat bukti itu semestinya diuji kualitasnya sebagai alat bukti yang sah secara hukum. Dari lima jenis alat bukti yang disebutkan KUHAP, setidaknya penyidik atau penuntut umum memiliki tiga alat bukti yang dapat dipertahankan secara kuantitas dan kualitas sebagai alat bukti untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka.
Sumber:
https://www.causes.com/causes/303502-bantuan-hukum-berbasis-masyarakat/updates/417666-standar-operasional-prosedur-penanganan-kasus-hukum-posko-bantuan-hukum-masyarakat-2
http://lsm-bin.blogspot.com/2012/03/apabila-seseorang-diduga-keras-atau.html
Saturday, 24 January 2015
Home »
Tau gak Sich
» Prosedur Penangkapan Terhadap Tersangka atau Pelaku Tindak Pidana
0 comments:
Post a Comment
KOMENTAR YANG BIJAKK !!!!